Laman

Pria Penyendiri : Saat Hujan

Aku duduk di kursi halte bus. Banyak orang berjalan di depanku. Aku memperhatikan mereka. Semakin lama, langkah kaki mereka bergerak cepat. Mereka seperti mengkhawatirkan sesuatu. Aku tak tahu apa itu. Apa yang membuat mereka khawatir? Yang ku tahu, aku melihat awan menghitam. Begitu pekat. Apa itu yang membuat mereka khawatir?
 
Setetes air pun turun di ikuti tetesan-tetesan air berikutnya. Mereka tak lagi berjalan cepat. Mereka mulai berlari mencari tempat untuk berteduh. Sebagian dari mereka membuka payung yang mereka siapkan. Seolah mereka tahu akan masa depan. Apakah mereka sebegitu khawatirnya akan masa depan sehingga mereka menyiapkan segala sesuatunya? Padahal, mereka tahu sebelumnya hari begitu cerah. Apakah mereka tak akan kecewa jika hari ini tak akan turun hujan?
 
Aku duduk di kursi halte bus. Semakin lama hujan turun dengan derasnya, dan tak ku lihat lagi orang berjalan di depanku. Aku menolehkan pandanganku ke arah kanan, dan aku melihat seorang pria tua penjual Koran sedang tertidur dengan sangat pulas. Di wajahnya terlukis seorang pria pekerja keras yang penuh harapan. Terlihat begitu nyaman, padahal hanya duduk di atas kursi besi dingin halte bus pinggir jalan. Rasa lelah yang membuatnya hangat mungkin membuatnya begitu nyenyak. Apakah aku bisa seperti itu jika dalam kondisi yang sama? Entahlah…”
 
Hari semakin gelap, dan hujan pun tak kunjung reda. Lampu jalan mulai menerangi sudut-sudut jalan. Apa yang aku tunggu di halte bus? Oh yah… Aku pun sama khawatirnya dengan mereka. Hanya saja, cara menghadapinya yang berbeda. Mereka lebih memilih untuk tetap bergerak meski awan menghitam, dan aku lebih memilih duduk dan memperhatikan mereka. Seolah mereka memiliki harapan, bukan berarti aku tak punya harapan. Hanya saja, aku takut kekecewaan. Mereka memilih tetap bergerak dengan harapan, mereka dapat sampai ketempat tujuan mereka sebelum hujan turun. Aku lebih memilih untuk duduk di halte bus, karena aku takut jika aku terus bergerak aku akan basah, dan itu merepotkan.
 
Aku ingin tahu masa depan. Agar aku yakin untuk berharap. Agar aku tak merasakan kekecewaan. Aku ingin tahu kapan hujan ini reda.

Kehilangan

Bintang pun menghilang di langit malam 30 September. Membawa seluruh angan menghadirkan rindu. Pertemuan ini sangatlah singkat. Meski begitu, ingatan tentang bunga terindah begitu melekat.

Kita tak pernah saling menatap, hanya aku yang memerhatikan. Kita tak pernah berbagi cerita, hanya aku yang menuliskan. Tentang cinta, tentang rindu hanya aku yang rasa.

Aku harap dapat bertemu dengannya kembali. Bukan untuk mengungkapkan rasa, hanya ingin bertanya siapa namanya. Agar dapat aku selipkan dalam do'a malamku. Kepada pemilik angin, kepada pemilik rasa cinta dan rindu ku titipkan dia pada-Mu.

Masih Memikirkannya


Jika seseorang ditanyai apa keinginannya, dia akan menjawabnya dengan antusias. Meskipun terkadang hal itu telah ia miliki. 

Rakus, cemburu akan apa yang dimiliki orang lain, namun dengan positif menjadikannya sebuah motivasi untuk mencapainya. Aku rasa begitu tak apa. Karena dengan begitu hidup lebih bergairah.

Jika seseorang menanyai apa keinginanku, aku masih memikirkannya. Bukan karena tak ada yang diinginkan… aku sendiri tidak tahu apa yang aku inginkan.

Kata temanku, hidupku seperti tak bergairah. Aku menyangkalnya, meskipun aku tak tahu pasti apa artinya. Kata temanku, kecil rasa keinginanku. Aku menyangkalnya, karena aku masih memikirkannya.

Gambaran Penyesalan


Ada hari dimana aku akan mengatakan “kenapa tidak dari dulu…”. Kalimat yang menggambarkan sebuah penyesalan di masa lalu atas diri yang tak pernah menghargai waktu.

Saat itu aku baru sadar betapa tak berharganya apa yang aku lakukan, dulu, betapa berharganya waktu yang aku korbankan. Mungkin juga tak pantas aku menyebutnya pengorbanan, hanya membuang waktu, sia-sia.

Saat itu aku baru sadar, lingkungan dan orang-orang telah berubah, sedangkan aku tidak, hanya tetap sama seperti satu tahun yang lalu, atau lebih parah sepuluh tahun yang lalu, menyedihkan.

Namun aku bersyukur dapat mengucapkan kalimat itu. Ya, aku berharap dapat mengucapkannya suatu saat nanti sebagai penyesalan atas apa yang tak kusadari hari ini, saat ini. Hingga menjadi lebih baik. 

Aamiin.